Hari ke-1 : Bagaimana Memahami Riwayat Hidup/Problem Pasien

Ini bagian yang sangat penting dalam hipnoterapi, tetapi sekaligus yang paling sering dilalaikan oleh mereka yang belajar hipnosis. Kebanyakan orang belajar hipnosis dengan berfokus pada teknik induksi dan bagaimana cara paling ampuh menidurkan subjek. Ini bisa dimengerti karena, dalam anggapan umum, hipnosis adalah bagaimana kita membuat orang tidur atau memasuki trance dan kemudian diberi perintah untuk melakukan apa saja. Pada kenyataannya, tanpa informasi yang memadai mengenai subjek dan masalahnya, anda akan kesulitan menentukan strategi terapi apa yang paling tepat anda terapkan. Atau jika anda melakukan eksperimen, pengetahuan apa yang akan anda perdalam dalam sesi eksperimen itu.

Karena itu, sebelum materi yang lain-lain, saya ingin mengingatkan anda tentang pentingnya pengumpulan informasi. Ia penting karena dari sinilah sesi terapi atau eksperimen anda berpijak. Selain itu, tahap pengumpulan informasi juga merupakan waktu paling ideal bagi anda untuk membangun keterhubungan (rapport) dan memantapkan kepercayaan pasien terhadap anda. Jadi, mari kita memulai pembelajaran ini dengan membahas tahap yang memang awal sekali dalam setiap sesi terapi, yakni memahami komunikasi pasien dan mendapatkan informasi yang memadai untuk menjalankan terapi.

1. Pasien menahan informasi dan menceritakan problem yang bukan problem utama

Keputusan untuk menemui terapis seringkali merupakan keputusan yang sangat sulit bagi pasien. Mereka mungkin masih menyimpan sejumlah ketakutan mengenai apa yang akan terjadi dalam sesi hipnoterapi. Mereka kadang takut menceritakan masalah mereka yang sesungguhnya. Atau mereka malu menceritakan masalah utama, sehingga hanya bisa menceritakan masalah-masalah pinggiran dalam keseharian mereka.

Pendeknya, mereka tidak serta merta berani menyampaikan masalah mereka. Ini hal yang tidak aneh dalam sesi terapi. Ada berbagai alasan yang membuat mereka seperti itu. Selain yang sudah disinggung di atas, mungkin juga mereka melakukan tindakan berjaga-jaga. Itu cara untuk melindungi diri. Sekiranya terapi gagal, mereka tidak menderita kerugian total. Dengan kata lain, mereka tidak ingin begitu saja menelanjangi diri sendiri sementara mereka tidak bisa terlalu yakin akan hasil terapi.

Kemungkinan lain, mereka ingin menjajal kemahiran terapis lebih dulu dalam menangani masalah-masalah yang kurang penting. Dengan cara demikian mereka ingin memastikan apakah terapis cukup mumpuni untuk membantu mereka menyelesaikan masalah atau tidak. Dan apakah sebagai pasien mereka sepakat atau tidak pada cara penanganan yang dilakukan oleh terapis.

Upaya pasien untuk menahan-nahan informasi tentu saja membuat pekerjaan anda jadi sedikit lebih sulit. Namun, apa pun alasan mereka, jika anda menjumpai pasien seperti ini, perlu anda ingat bahwa keberhasilan anda dalam masalah-masalah kecil seringkali membuka kesempatan luas bagi anda untuk keberhasilan selanjutnya dalam menangani masalah utama pasien anda. Anda tahu, jarang ada masalah yang berdiri sendiri. Ketika ada lebih dari satu masalah, mereka biasanya saling berkaitan satu sama lain. Maka penting bagi anda untuk mengetahui semua aspek dari masalah-masalah pasien anda dan mencatat bagaimana mereka saling berkaitan dan mungkin saling menguatkan.

Sebagai ilustrasi, mari kita lihat contoh kasus berikut. Seorang perempuan berusia 40-an, sebut saja ia Ani, menemui terapis dan ia tampak ogah-ogahan membicarakan dirinya. Ia kegemukan dan dengan sikap yang tampak jemu mengatakan kepada terapis bahwa ia ingin menurunkan berat badannya. Ia mengalami masalah ini sejak remaja.

Dari penggalian informasi yang dilakukan, terapis mendapatkan fakta bahwa tidak satu pun anggota keluarganya memiliki masalah tersebut. Ia punya tiga saudara laki-laki, satu saudara perempuan, seorang ibu yang kacau, dan Ani sudah tidak berhubungan dengan ayahnya. Setelah menjalani beberapa sesi dalam waktu lebih dari enam minggu, Ani hanya berhasil menurunkan berat badannya sedikit sekali. Selain itu, Ia tidak merespons berbagai teknik intervensi hipnosis yang digunakan oleh terapis yang menanganinya. Untungnya, meski dalam enam minggu itu ia gagal menurunkan berat badan secara signifikan, Ani tampaknnya tetap bisa mempercayai terapis yang menanganinya dan mau melanjutkan terapi.

Setelah menjalani sepuluh sesi terapi yang hasilnya tidak memuaskan, akhirnya Ani menyampaikan kepada terapis bahwa ia telah menjadi korban pelecehan seksual oleh ayahnya. Berangkat dari pengungkapan itu, dalam enam sesi berikutnya Ani dan terapis itu bersama-sama menangani perasaannya tentang ayah dan pelecehan yang dilakukan oleh lelaki itu. Pada saat ini masalah kegemukan tidak lagi menjadi perhatian. Namun pada saat ia berfokus pada masalah pelecehan, pelan-pelan berat badannya mulai turun.

Sang terapis mula-mula tidak memperhatikan perubahan tersebut. Ia hanya melihat bahwa Ani mulai tampak kian percaya diri dalam penampilannya. Maka, ada titik terang di sana. Ani memunculkan masalah kegemukan ketika remaja, tidak lain untuk membuat dirinya tidak menarik. Itu sebuah cara menghentikan pelecehan oleh ayahnya. Dalam perkembangan selanjutnya, masih terus-menerus dihantui ketakutannya terhadap pelecehan, ia membangun generalisasi dalam memandang hubungan dengan semua lelaki. Dan itu membuatnya tidak pernah bisa menurunkan berat badan karena bawah sadarnya menyimpan perasaan takut terhadap pelecehan.

Kunci dari keberhasilan dirinya adalah saat ia bisa mulai belajar mempercayai lelaki. Dan proses itu berjalan tanpa ia sadari ketika ia bisa menaruh kepercayaan kepada sang terapis. Maka, selalu penting bagi anda untuk bisa membangun kepercayaan pasien terhadap anda.

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa sekalipun terapi tampaknya gagal di sepuluh sesi awal, tetapi sebenarnya ada sesuatu yang sangat penting sedang berproses dalam diri Ani. Terapis yang menanganinya berhasil membuat Ani mengembangkan keyakinan bahwa ia bisa menyingkirkan masalah bersamanya. Maka ia terus melanjutkan sesi terapi meski yang tampak di permukaan adalah kegagalan—sampai sepuluh sesi ia hanya bisa menurunkan berat badannya sedikit sekali.

Tetapi anda tahu, masalah kegemukan Ani rupanya adalah masalah pinggiran saja. Masalah sesungguhnya adalah traumanya terhadap pelecehan oleh ayahnya. Jadi dalam sepuluh sesi awal, Ani melakukan pengujian terhadap terapis yang menanganinya dan ketika ia bisa mempercayai sang terapis, Ani kemudian bisa membuka masalah yang sesungguhnya. Pada saat itulah ia sekaligus memulai perjalanan terapetiknya untuk mengoreksi generalisasinya mengenai lelaki.

2. Mungkin ada masalah tersembunyi di balik simptom pasien, tetapi Anda tidak perlu dari awal bercuriga. Bersikap terbuka saja untuk menerima kemungkinan tersebut

Kasus di atas menyampaikan kepada kita bahwa sepanjang terapi berlangsung, dan terutama ketika anda mewawancarai pasien untuk pertama kali, kita harus tetap membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan tentang adanya masalah lain yang bersembunyi di balik masalah yang dimunculkan di permukaan. Artinya, jika anda merasa ada masalah lain, maka anda hanya perlu menyinggung kemungkinan itu dalam pertanyaan terbuka dan sampaikan secara ringan saja. Anda tidak perlu menyampaikan kecurigaan anda tentang masalah lain yang tersembunyi itu dan mengejar pasien agar menyampaikannya. Ingat, pasien perlu waktu untuk benar-benar terbuka kepada anda. Jika mereka memiliki masalah yang sulit diungkapkan, dan anda terasa seperti memburu-buru mereka, maka mereka bisa saja kabur dari anda dan hilanglah kesempatan anda untuk bertemu dengannya lagi. Biarkan saja pasien mengatur langkah mereka, terutama di awal-awal sesi penanganan.

3. Pasien mungkin benar-benar tidak menyadari akar masalah yang melandasi simptomnya atau memang tidak tahu ada masalah lain di balik masalah yang ia sampaikan

Kadang pasien tidak secara sengaja ingin menahan-nahan informasi. Mereka sekadar tidak menyadari adanya masalah lain di balik masalah yang ia sampaikan. Faktanya, masalah lain itu ada dan mendasari problem yang hendak ia selesaikan dengan bantuan terapis. Jika anda menyampaikan kepada pasien mengenai masalah lain ini yang berada di balik simptomnya, ia mungkin akan menjadi resisten. Memang kebanyakan masalah memiliki akar masalah. Pada beberapa kasus, akar masalah mungkin sudah tidak ada lagi dalam kehidupan sehari-hari pasien saat ini. Ia mungkin muncul dalam kehidupan masa kecil pasien, dan kemudian hilang dengan sendirinya, namun simptomnya terus berlanjut. Jika seperti ini, terapi kadang bisa berhasil dengan cara menangani simptomnya saja, karena akar masalahnya sudah tersingkir sendiri bertahun-tahun sebelumnya. Jika akar masalah itu masih ada, maka anda harus menangani akar masalah itu bersamaan dengan anda menangani simptom.

4. Kebutuhan untuk Mempertahankan Masalah

Ini juga sering terjadi pada pasien yang anda tangani. Ia memperoleh keuntungan dari simptom yang diidapnya. Misalnya, pasien anda mendapatkan perhatian dari seluruh anggota keluarga karena simptom tersebut. Karena itu menyingkirkan simptom bisa berarti menghilangkan perhatian yang didapatnya berkat simptom itu. Keuntungan yang didapat dari simptom tertentu kita sebut sebagai Hasil Sekunder (kita membicarakan lebih lanjut pokok bahasan ini pada materi lain). Ketika anda membantu pasien menyelesaikan masalahnya, pada saat yang sama anda juga berurusan dengan hasil sekunder ini. Anda tahu, bagaimanapun pasien anda memerlukan hasil sekunder itu. Maka, saat anda membantunya menyingkirkan simptom, anda sekaligus bisa menjamin bahwa pasien bisa memenuhi kebutuhannya dengan cara lain yang lebih konstruktif.

5. Hindari mengulang-ulang penggunaan kata “problem”

Dalam konteks pembelajaran ini, kita tentu saja bisa menggunakan kata “problem” sebanyak yang kita inginkan. Namun dalam sesi terapi, anda lebih baik menghindari penggunaan terlalu sering kata “problem”. Kata ini memiliki konotasi negatif. Sebaiknya anda menekankan perubahan positif dalam kehidupan pasien. Sebagai terapi, anda perlu menaruh kepercayaan sebesar-besarnya pada kemampuan pasien untuk berubah.

6. Hindari nasihat, penafsiran, dan solusi pada tahap ini

Pada tahap awal ini, yang anda lakukan hanyalah mengumpulkan informasi, baik verbal maupun non-verbal. Tidak perlu anda memberikan nasihat apa pun kepada pasien. Dan sebagai hipnoterapis anda memang sebaiknya menghindari kecenderungan untuk memberikan nasihat. Ingatlah bahwa anda menyampaikan solusi dalam bentuk metafora, analogi, tugas-tugas atau dengan sugesti tak langsung. Nasihat atau penafsiran yang terlalu dini dalam terapi mungkin tidak sesuai dengan keyakinan atau kebutuhan pasien. Jadi, dalam tahap ini anda hanya perlu menggali sebanyak mungkin informasi dari pasien. Ini akan membuat anda bisa mengidentifikasi pola-pola yang berkaitan dengan segala kejadian, tanggal-tanggal penting, perilaku, tindakan, dan sebagainya.

7. Mencermati perilaku non-verbal yang berlawanan

Sebagaimana terapis berkomunikasi dalam dua level kesadaran, pasien juga berkomunikasi di dua level, yakni di level pikiran sadar dan tidak sadar. Mereka sering mengatakan sesuatu dan pada saat yang sama mereka akan menggunakan bahasa non-verbal berupa gestur, ekspresi, atau perilaku yang kadang bertentangan dengan ucapan lisan mereka. Sebagai contoh, pasien mungkin menyampaikan sesuatu sambil menutup mulut mereka dengan tangan. Contoh lain, seseorang sering tanpa sadar menarik nafas dalam-dalam ketika sedang menyampaikan informasi tertentu. Contoh ketiga, pasien mungkin menggelengkan kepada (tidak sadar) ketika mengatakan “ya”.

8. Memunculkan perilaku simptomatik atau perasaan-perasaan yang mengiringinya

Seorang terapis melakukan terapi tidak melulu berdasarkan ujaran pasien, tetapi lebih bertumpu pada perilaku simptomatik pasiennya. Karena itu, jika memungkinkan anda perlu mendapatkan sampel tentang simptom pasien anda. Misalnya, jika pasien mengatakan mereka takut ketinggian, anda bisa saja meminta mereka memejamkan mata, membayangkan berada di tempat tinggi dan memperhatikan perasaan-perasaan yang muncul dari tindakan itu. Jika pasien menyampaikan masalahnya bahwa ia gugup bicara di depan publik, maka terapis bisa meminta pasien membayangkan dirinya bicara di depan publik. Namun perlu diperhatikan bahwa ketika anda meminta pasien melakukan ini, atau berupaya memunculkan perilaku simptomatik pasien, anda harus menjelaskan untuk apa ia diminta melakukan itu. Hal ini demi menghindari rusaknya rapport dengan pasien yang sedang anda bangun.


CATATAN

Jadi, pada dasarnya sebagian upaya terpenting dalam terapi adalah bagaimana membangun kedekatan dan memantapkan kepercayaan pasien terhadap sang terapis. Ketika terbangun kepercayaan, kerjasama akan berjalan mulus dan anda bisa mendorong pasien untuk berfungsi optimum—dengan strategi terapi yang paling sesuai terhadap kebutuhannya.

Posisi terapis adalah kawan baik, orang yang bisa dipercaya, atau mentor yang memberi keleluasaan pasien untuk mewujudkan perubahannya sendiri. Jika terapis ingin menunjukkan keampuhan dirinya atau pendekatannya, itu tidak ubahnya ia berdiri di tengah jalan menghalangi langkah pasien untuk menemukan jalannya sendiri. Menepilah, beri jalan kepada pasien anda untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

Salam
A.S. Laksana