Hari ke-16 : Disosiasi Bertingkat: Sebagai Orang Ketiga

Materi ke-16
Disosiasi Bertingkat : Sebagai Orang Ketiga

Dalam pengertian yang luas, saya menyebut bahwa hipnosis adalah disosiasi. Ketika orang memasuki kondisi hipnosis, ia mengalami disosiasi. Disosiasi terjadi juga pada orang dalam keadaan khusyuk. Ketika orang sangat khusyuk pada satu gagasan atau satu aktivitas, ia bisa melupakan situasinya, ia memisahkan diri dari lingkungannya.

Di ruang terapi, dengan memberdayakan fenomena disosiasi, kita bisa meminta pasien untuk memisahkan diri dari perasaannya, memisahkan diri dari pengalaman masa lalunya, untuk membuat pasien menemukan cara pandang yang lebih objektif. Dengan disosiasi, anda melatih pasien untuk membuat jarak dalam melihat dirinya sendiri. Ini sangat berguna untuk menanamkan cara pandang alternatif yang lebih menyehatkan dan lebih produktif.

Menjadi lebih objektif berarti ia bisa membebaskan diri dari perasaan-perasaan dan hal-hal subjektif yang biasanya muncul ketika orang mengingat pengalaman-pengalaman traumatik, atau fobia, atau kejadian-kejadian yang sangat emosional. Hanya ketika orang bisa melepaskan diri dari subjektivitas, maka ia bisa menemukan cara pandang baru atau wawasan baru dalam melihat masalahnya—juga dalam melihat perilaku simptomatiknya selama ini.

Dalam praktek-praktek sebelum teknologi berkembang di level sekarang, terapis biasa menggunakan bola kristal untuk memunculkan disosiasi. Prosedurnya simpel saja, anda meminta pasien melihat dirinya di bola kristal sedang berada pada situasi tertentu. Sekarang teknik itu diperluas dengan melihat diri sendiri di layar televisi atau di layar bioskop. Anda mensugesti pasien untuk melihat atau membayangkan dirinya sendiri sedang menyaksikan sebuah adegan di layar televisi atau layar bioskop. Dan itu bisa saja adegan yang selama ini memicu munculnya perilaku simptomatik pada pasien. Anda menempatkan pasien di kursi penonton dan di kursinya itu ia menyaksikan sebuah kejadian di layar film. Pada umumnya teknik ini cukup efektif untuk membuat pasien bisa mengendalikan emosinya. Sehingga kejadian yang selama ini memicu simptom tertentu, kini bisa ia hadapi secara lebih tenang. Karena posisinya sekarang adalah penonton. Ia bisa berempati, tetapi ia “berada di luar” kejadian.

Itu teknik disosiasi di level pertama, sebagai orang pertama yang menyaksikan sebuah adegan yang menggambarkan peristiwa di masa lalu.

Disosiasi di level kedua anda lakukan dengan cara meminta pasien melihat dirinya sendiri yang sedang melihat dirinya sendiri sedang menyaksikan sebuah situasi yang melibatkan dirinya sendiri di waktu lalu. Jadi ia menyaksikan orang yang sedang menyaksikan peristiwa tertentu. Jarak yang anda sodorkan kepadanya kian lebar, dan orang akan menjadi kian objektif.

Jika kita menggunakan teknik menonton film, gambaran disosiasi sebagai orang kedua adalah sebagai berikut: anda menyaksikan diri anda sedang menonton film tentang diri anda dalam adegan tertentu.

Gagasan lain yang sepadan dengan ini bisa anda ambilkan dari pengalaman sehari-hari tentang orang yang mengalami mimpi ganda. Artinya, anda tidur dan bermimpi, dan dalam mimpinya itu ia melihat dirinya sedang memimpikan kejadian tertentu.

Disosiasi tingkat ketiga akan membuat jarak terentang kian jauh lagi. Sekarang ada empat orang yang terlibat dalam disosiasi ini. A melihat A melihat A melihat A dalam situasi tertentu.

Untuk memudahkan, formula disosiasi betingkat adalah sebagai berikut:

Disosiasi tingkat pertama: A1 melihat A
Disosiasi tingkat kedua: A2 melihat A1 melihat A
Disosiasi tingkat ketiga: A3 melihat A2 melihat A1 melihat A

Jarak pada A3 tentu sudah menjadi sangat jauh dari kejadian yang dialami oleh A.

Cerita Berbingkai

Variasi lain untuk melakukan disosiasi bertingkat adalah menyampaikan cerita berbingkai. Dan bingkainya bisa anda bikin sebanyak apa pun yang anda inginkan asal anda tidak kesulitan menyampaikannya.

Disosiasi tingkat pertama bisa digambarkan bahwa pasien anda sedang mendengarkan seseorang menceritakan pengalamannya. Dan orang yang bercerita ini tidak lain adalah dirinya sendiri di masa lalu.

Disosiasi tingkat kedua adalah pasien anda mendengarkan seorang menceritakan kejadian yang menimpa orang lainnya.

Disosiasi ketiga, pasien anda mendengarkan seseorang menyampaikan cerita yang didengarnya dari orang lain tentang kejadian yang menimpa seseorang.

Disosiasi dan Halusinasi

Ketika terapis meminta pasien mereka untuk memunculkan disosiasi dengan cara keluar dari tubuh mereka dan melihat diri mereka sendiri duduk di kursi terapi, terapis sesungguhnya sedang mensugesti halusinasi. Anda tahu, disosiasi adalah salah satu bentuk dari halusinasi.

Kebanyakan pasien bisa membayangkan diri mereka sendiri. Ini bukan bentuk halusinasi yang sebenarnya. Dalam fenomena halusinasi, pasien harus secara harfiah meyakini bahwa ia sedang melihat dirinya sendiri berada di depan matanya. Inilah yang kita namakan halusinasi. Dalam kasus ini pasien akan percaya bahwa ia dan dirinya yang lain adalah sosok yang terpisah.

Halusinasi hipnotik adalah salah satu fenomena hipnotik klasik. Pasien bisa diminta untuk melihat benda-benda atau apa saja yang sebenarnya tidak ada atau tidak melihat apa-apa yang pada kenyataannya ada. Dan sebagaimana fenomena-fenomnena hipnotik yang lainnya, halusinasi bisa dimunculkan dengan sugesti.

Untuk memunculkan fenomena halusinasi, anda perlu membimbing pasien memasuki kodisi deep trance terlebih dulu, kemudian anda memberinya sugesti bahwa ia akan melihat sesuatu atau seseorang (yang sesungguhnya tidak ada di ruangan tempat sesi berlangsung) atau tidak melihat sesuatu atau seseorang (yang sesungguhnya ada di ruangan). Kemudian anda meminta pasien membuka mata dan pasien melihat atau tidak melihat sesuatu ketika ia membuka mata.

Atau pasien bisa tetap menutup untuk melakukan halusinasi. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah pasien membayangkan dirinya melihat sesuatu, dan ini bukan halusinasi hipnotik yang sesungguhnya.

Dalam bentuknya yang klasik, halusinasi biasanya harus dialami oleh subjek dengan mata terbuka. Sering fenomena ini dimunculkan melalui sugesti post-hypnotic. Ketika subjek dalam keadaan trance, anda memberikan sugesti bahwa pada saat ia bangun ia akan mendapati sesuatu yang mengejutkan di depan matanya, yaitu ia bisa melihat dirinya sendiri ada sedang berada di dalam ruangan ini, tidak jauh di hadapannya. Halusinasi bisa digunakan untuk mengukur kedalaman trance, untuk memperdalam trance, atau untuk kepentingan terapi.

Anda bahkan bisa menggunakan fenomena hipnotik halusinasi ini untuk kepentingan bahwa subjek melihat dirinya sedang berhadapan dengan orang yang ia percaya dan orang itu membantunya menyelesaikan masalahnya. Jadi anda mensugesti pasien bahwa orang yang bisa membantu menyelesaikan masalah itu hadir di ruang terapi. Dan pasien mengalami, melalui halusinasi, bahwa orang itu benar-benar hadir di sana.

Halusinasi Positif dan Negatif

Halusinasi positif adalah subjek melihat sesuatu yang sesungguhnya tidak anda di ruangan. Halusinasi negatif sebaliknya, ia tidak melihat apa yang ada di dalam ruangan. Anda bisa memanfaatkan fenomena halusinasi negatif sebagai sarana melatih pasien untuk tidak menyadari adanya rangsangan dari luar. Ini bisa bermanfaat untuk mengendalikan rasa nyeri atau rasa sakit jika pasien memerlukan itu.

Anda bisa memanfaatkan halusinasi positif sebagai sarana melatih pasien untuk menghadapi situasi tertentu. Dengan kata lain, anda memberikan pengalaman tertentu kepada pasien tanpa pasien itu secara nyata mengalami kejadian tersebut. Ini berguna untuk menyiapkan pasien agar bisa mengubah perilaku simptomatiknya ketika ia berhadapan dengan situasi sesungguhnya. Misalnya, anda bisa membantu pasien menyingkirkan fobianya terhadap sesuatu atau terhadap situasi tertentu dengan menyingkirkan aspek-aspek pada sesuatu atau situasi tersebut yang membuatnya memunculkan perilaku simptomatik.

Catatan:

Jika anda belum pernah mempraktekkan halusinasi tingkat dua atau tiga, saya menyarankan anda untuk mempraktekkannya dalam sesi eksperimen terlebih dahulu sebelum menggunakannya untuk terapi. Eksperimen akan membuat anda lebih mahir menggunakan peralatan anda.

Sementara ini, jika anda menggunakan pendekatan disosiasi dengan membuat pasien menonton film, saya menyarankan agar ia menonton film tersebut di layar televisi. Itu pengalaman yang terdekat dan kebanyakan orang memiliki pengalaman menonton televisi. Dan anda akan lebih mudah menangani situasi jika terjadi kemungkinan abreaksi. Anda bisa memberi gagasan pada pasien anda bahwa ia memegang remote control dan bisa sewaktu-waktu memencet tombol untuk mematikan tivi jika ia tak tahan melihat film yang ia tonton.

Saya menangani pasien yang mengalami situasi sangat berat di masa kecilnya dengan cara tersebut. Beberapa kali ia menekan tombol remote controlnya, sampai akhirnya ia bisa menonton peristiwa tersebut dengan tenang hingga rampung.

Setelah itu, saya memberinya sugesti, “Jika kau bisa menemui anak kecil itu, beritahu dia, dalam posisimu sekarang, bagaimana sebaiknya dia mengatasi situasinya. Ia nanti akan menjadi dewasa, jika ia tidak tahu bagaimana cara terbaik menjalani hidupnya setelah kejadian tersebut, ia akan menjalani seluruh hidupnya dengan penderitaan. Beri tahu dia, dalam posisimu sekarang, apa yang perlu ia lakukan untuk mempertahankan pikiran baik dalam situasi apa pun. Kau bisa melakukannya?”

Ia mengangguk dan kemudian melakukan tugasnya dengan baik. Dan itulah awal dari keberhasilannya mengatasi masalah yang terus-menerus menghantuinya dan membuat hidupnya terus murung. Dengan sabar ia memberi tahu si bocah kecil apa yang bisa dilakukannya untuk mempertahankan rasa gembira setelah pengalamannya yang sangat pahit. Jadi, ketika ia berjarak dengan perasaan-perasaannya, ia bisa mengajari dirinya sendiri.

Salam,
A.S. Laksana