Hari ke-32 : Strategi Terapi: Meraih Hasil Akhir Positif

Materi ke-32
Strategi Terapi: Meraih Hasil Akhir Positif

Pasien sering tidak tahu apa hasil positif yang ia inginkan. Sering ia hanya berpikir untuk menghentikan hal buruk yang selama ini terjadi padanya. Namun ia tidak tahu persis apa yang ia ingin capai. Misalnya, seorang perokok mungkin hanya ingin bagaimanan caranya berhenti merokok ketimbang memikirkan bagaimana cara menjadi lebih sehat.

Karena itu sangat penting untuk untuk merumuskan hasil secara positif. Dengan menanyakan kepada pasien apa perubahan positif yang diinginkannya, anda menggiring pasien untuk mengenali hasil positif ketimbang membiarkannya membuat rumusan negatif. Lazimnya yang terjadi adalah begini: Jika pasien ingin menghentikan perilaku tertentu, pertama kali yang dilakukannya adalah menyadari apa yang ia coba hentikan. Jika seseorang ingin berhenti makan cokelat, misalnya, maka yang ia pikirkan pertama kali adalah menghindari cokelat. Di tingkat permukaan, ini sepertinya bagus-bagus saja, tetapi dengan cara itu pikirannya terus tertuju pada cokelat.

Jadi, bawa pasien anda ke arah hasil positif. Salah satu pasien yang saya tangani memiliki masa lalu yang sedemikian buruknya sehingga ia tidak pernah berani memikirkan kejadian itu. Tetapi dengan caranya sendiri ia justru terus-menerus memikirkan kejadian itu. Dengan antisipasi untuk menghindari agar tidak lagi mengalami hal menyakitkan, diam-diam ia justru membuat dirinya selalu mengingat kejadian itu.

Memanfaatkan kecenderungannya untuk mengantisipasi ini, saya menggiringnya untuk mengantisipasi hasil terbaik yang bisa ia dapatkan. Saya mengatakan kepadanya, “Bawah sadarmu menyimpan semua kejadian baik yang kaulupakan ... dan ia bisa memunculkannya dalam bentuk mimpi, yang kadang kauingat ketika kau bangun tidur, dan kadang kaulupakan ketika kau bangun tidur. Tetapi yang terpenting adalah ia memiliki semua kenangan baik, meskipun pikiranmu tak mampu menjangkaunya....”

“Bawah sadarmu bisa memunculkannya tanpa diketahui oleh pikiranmu, dan kau bisa memimpikan kejadian-kejadian yang menyenangkan, kenangan-kenangan baik yang tak terjangkau oleh pikiranmu... Dan kau hanya bangun pagi dengan pikiran aneh... sudah lama kau tidak memimpikan kejadian-kejadian yang menyenangkan itu... Kau tak tahu kenapa muncul mimpi-mimpi seperti itu. Dan kau memikirkannya seharian... apa yang hendak disampaikan oleh bawah sadarmu dengan memunculkan kembali kejadian-kejadian itu? Dan pikiranmu tak menemukan jawabannya... tetapi kau hanya bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda ketika kau memikirkan hal itu... perasaan nyaman yang muncul begitu saja, yang kaulupakan bertahun-tahun....”

Mengondisikan pasien pada pengalaman-pengalaman terbaiknya
Dalam menangani pasien seperti itu, yang pikirannya hanya mengantisipasi hal-hal buruk, saya seringkali membuatnya pikirannya sibuk memikirkan hal-hal baik. Dan memenuhi pikirannya dengan ingatan-ingatan baik selama beberapa waktu akan membuatnya secara otomatis melupakan antisipasinya terhadap hal-hal buruk. Ketika ia sudah terbiasa dengan ingatan-ingatan baik, progresi akan bisa disugestikan dengan lebih mudah—yakni memintanya melihat dirinya sendiri beberapa tahun ke depan dalam keadaan terbaik ketika terapinya berhasil dan ia menjadi sangat konstruktif.

Distorsi waktu dan pseudo-orientasi waktu (materi ke-6 dan ke-7) menjadi perangkat penting dalam pendekatan semacam ini. Dalam menggunakan distorsi waktu, yang sering saya lakukan adalah membuat pasien mengalami kembali kejadian-kejadiannya sejak masa kecil hingga sekarang, tetapi itu hanya pengalaman-pengalaman yang menyenangkan. Dengan menyodorkan gagasan bahwa “bawah sadarmu bisa mengingat semuanya, meskipun pikiranmu tidak bisa menjangkaunya”, maka pasien, dalam keadaan trance, tidak mengalami kesulitan untuk mengalami kembali kejadian-kejadian menyenangkan itu.

Jadi, dalam pendekatan ini, yang perlu kita lakukan adalah membiasakan pasien dengan ingatan-ingatan baik. Kemudian melibatkan pikirannya untuk memikirkan “keanehan” itu, sesuatu yang tidak terjangkau pikiran sadar dan tetap tidak terjangkau, sampai akhirnya ia menyadari perubahan yang dirasakannya.

Kita akan lebih mudah meminta seseorang membayangkan hasil akhir positif pada orang-orang yang terbisa mengisi benaknya dengan hal-hal yang menggembirakan. Selama ia masih memenuhi kesadarannya dengan pikiran-pikiran negatif, akan sulit bagi kita memintanya melihat diri sendiri dalam hasil akhir terbaik yang ia inginkan.

Anda tahu, gambaran diri yang terbaik hanya bisa dimunculkan oleh orang-orang yang terbiasa mengondisikan pikirannya hanya pada pikiran-pikiran terbaik.

Salam,
A.S. Laksana