Hari ke-40 : Menangani Abreaksi dan Pengalaman Traumatik

Materi ke-40
Menangani Abreaksi dan Pengalaman Traumatik

Abreaksi adalah ledakan emosi yang begitu kuat, yang disebabkan oleh munculnya ingatan akan kejadian traumatik di masa lalu seseorang. Abreaksi bisa muncul karena seseorang secara sengaja mengingat-ingat pengalaman traumatiknya, kadang bisa muncul secara spontan. Yang jelas, abreaksi selalu berkaitan dengan munculnya ingatan pasien terhadap kejadian traumatik dan pada saat itu pasien begitu tercerap ke dalam ingatannya sehingga ia mengalami kembali seluruh perasaannya akan kejadian traumatik tersebut. Ingatannya terhadap kejadian tersebut akan sedemikian detail, sehingga kejadian itu seperti kembali lagi kepadanya. Abreaksi sering sangat dramatis atau menakutkan, tidak saja bagi pasien tetapi juga bagi terapis.

Trauma ini seringkali ditekan oleh pasien dan itu mungkin kejadian yang betul-betul ia lupakan sebelum munculnya abreaksi. Anda tahu, tindakan yang cukup lazim bagi setiap orang ketika ia mengalami kejadian yang menyakitkan adalah menekan ingatan terhadap kejadian tersebut, dan mencoba melupakannya. Ini seringkali merupakan mekanisme alami bagi setiap orang untuk bertahan hidup setelah kejadian yang sangat menyakitinya.

Kadang-kadang pasien menyadari pengalaman traumatiknya, kadang-kadang ia lupa. Amnesia terhadap kejadian traumatik biasanya terjadi ketika pengalaman itu sedemikian menyakitkan. Seorang anak, misalnya, harus memblok ingatan akan perlakuan buruk yang ia terima sebagai cara untuk bisa menjalani hidupnya setelah peristiwa yang ia rasa menghancurkan dirinya. Ini kasus yang lazim pada orang-orang berkepribadian ganda.

Kepribadian ganda, yang sering disebabkan oleh perlakuan amat buruk, adalah kondisi di mana seseorang mengembangkan sub-kepribadian yang disebabkan oleh perlakuan buruk terus-menerus dan ia mengatasi hal itu dengan melakukan disosiasi terhadap pengalaman-pengalaman traumatisnya. Kanak-kanak belajar untuk mendisosiasi dirinya dari ingatan yang menyakitinya, menciptakan amnesia terhadap pengalaman tersebut, dan kemudian, ketika diperlakukan buruk lagi, ia akan menggunakan pola yang sama sampai sejumlah kepribadian muncul dengan masing-masing memiliki pribadi dan pengalaman unik. Kepribadian-kepribadian ini biasanya tidak saling mengenali satu sama lain di tingkat sadar.

Abreaksi sebagai bahan baku bagi terapis
Sebagaimana orang-orang lain bekerja dengan bahan baku, demikian juga terapis. Dalam sesi terapi, emosi adalah bahan baku yang dengannya terapis bekerja. Dalam pengertian ini, abreaksi menyodorkan bahan baku kepada terapis. Jika sebuah abreaksi muncul spontan, terapis perlu mendorongnya untuk mengembangkan hal tersebut sejauh ia yakin bisa menanganinya. Jika abreaksi dihambat seringkali akan sulit untuk mengaksesnya di waktu kemudian. Alasannya, pasien kini menyadari bahwa ia menyimpan pengalaman traumatik. Upaya-upaya berikutnya untuk memunculkan abreaksi biasanya akan menghasilkan perilaku resisten pada pasien. Siapa yang suka diingatkan kembali pengalaman menyakitkan yang pernah ia alami dan harus merasakan kembali emosi yang menyiksa?

Karena itu, ketika abreaksi muncul, sebaiknya ia dituntaskan. Menghentikannya di tengah jalan hanya akan menjadikan pekerjaan anda berlangsung setengah jalan juga. Abreaksi perlu dilepaskan sampai tuntas. Dengan menuntaskan seluruh abreaksinya, pasien bisa mengungkapkan seluruh perasaannya secara utuh. Biasanya setelah abreaksi berlangsung sampai selesai, pasien akan merasakan terbebas dari emosi-emosinya, kelelahan, dan stres berat.

Memang abreaksi bisa sangat dramatis, namun terapis harus tetap tenang selama hal itu berlangsung. Anda tahu, selain menakutkan bagi pasien, abreaksi bisa menakutkan juga bagi terapis yang tidak berpengalaman. Kadang-kadang pasien bisa menjadi kasar. Hal ini terutama terjadi ketika pasien mengidentifikasi terapis sebagai pelaku dalam pengalaman traumatisnya. Jika kondisi transferensi semacam ini terjadi, di mana pasien membayangkan terapis adalah pelaku aktif dalam kejadiannya di masa, pasien bisa menjadi agresif terhadap terapis. Dalam kasus begini, terapis harus berupaya melindungi pasien dan dirinya sendiri. Bila mungkin terapis harus tetap tenang dan objektif. Ia harus tetap mampu mengendalikan situasi dan terus memberi dukungan kepada pasien saat ia mengalami abreaksi.

Sekali lagi, jam terbang seorang terapis akan sangat menentukan dalam ketenangannya menghadapi abreaksi oleh pasien. Karena itu, anda perlu mempersiapkan langkah-langkah untuk menghadapi kemungkinan terjadinya abreaksi setiap kali berhadapan dengan pasien yang mengidap trauma pada pengalaman masa lalunya. Ingat berbagai strategi terapi seperti teknik-teknik disosiasi dengan menonton film, time line therapy, dan sebagainya yang dimaksudkan untuk menangani pasien dengan kejadian traumatik di masa lalu.

Di luar urusan jam terbang, bagaimanapun seorang terapis perlu memiliki kecakapan menangani abreaksi. Melalui sebuah abreaksi, kita kadang bisa mendapatkan pemahaman baru tentang simptom pasien. Demikian pula bagi pasien. Setelah mengalami abreaksi, ia sering mendapatkan informasi baru tentang penyebab masalahnya. Namun, sekadar tahu kenapa masalah muncul tidak dengan sendirinya menyelesaikan masalah.

Lain dari itu, ketika pasien mengalami abreaksi, ia melepaskan energi besar dan karena itu ia akan kelelahan. Di luar itu, ia memiliki energi ekstra yang semula ia gunakan untuk menekan ingatan-ingatan traumatiknya. Energi tambahan ini bisa kita manfaatkan dan kita arahkan untuk mendapatkan hasil positif. Namun, anda tahu, sekadar melepaskan energi tidak dengan sendirinya menghasilkan terapi.

Reframing setelah Abreaksi
Setelah abreaksi berakhir, terapis harus mulai mempertimbangkan berbagai pendekatan terapetik untuk membereskan masalah pasiennya. Pada saat ini pasien merasa dirinya adalah orang yang sangat rentan. Menyuruh pulang pasien dalam situasi ini adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab. Hal sangat penting yang bisa dilakukan oleh terapis pada saat ini adalah memanfaatkan pengalaman pasien dan melakukan reframing dalam berbagai cara sehingga sesi terapi bisa diakhiri dengan hasil signifikan dan pasien bisa pulang ke rumah dengan keyakinan baru.

Reframing adalah upaya untuk menyembuhkan ingatan traumatis. Satu hal perlu anda camkan ketika berhadapan dengan trauma, yakni bahwa ingatan traumatis biasanya memiliki tokoh yang terlibat di dalamnya. Dalam kasus pelecehan mungkin tokohnya hanya satu orang. Dalam kasus penghinaan, misalnya anak sekolah yang dicemooh dan ditertawai, mungkin yang terlibat beberapa orang. Pasien biasanya akan memiliki emosi yang kuat terhadap orang-orang yang berpartisipasi dalam kejadian traumatiknya. Perasaan ini mungkin kemarahan, kebencian, dan mungkin bahkan dorongan untuk membalas dendam. Perasaan yang pasien miliki biasanya negatif dan sering agresif dalam beberapa hal. Di satu sisi perasaan semacam ini bisa dipahami, karena ia menjalani hidupnya dengan mengidap simptom yang disebabkan oleh pengalaman traumatik.

Jika anda tidak mampu memahami perasaan pasien, ia akan merasa kecewa pada anda. Ketika anda bisa memahami semua perasaan mereka, ia bisa mempercayai anda dan anda memiliki kesempatan untuk me-reframe perasaan tersebut. Misalnya seorang anak yang dianiaya oleh orang tua akan merasa sangat marah dan kesal, namun pada saat yang sama tumbuh hasrat pada dirinya untuk dicintai. Dorongan untuk dicintai ini merupakan elemen penting dalam me-reframe keyakinan pasien dan sikapnya terhadap orang tua yang pernah memperlakukannya dengan buruk.

Orang tuanya mungkin masih hidup atau sudah meninggal, tetapi perasaan marah pasien masih tetap ada dan tidak berkurang. Anda bisa melakukan berbagai pendekatan, mendisosiasi pasien dari perasaannya, sehingga pasien bisa melihat kejadian di masa kecilnya itu dengan jarak tertentu dan lebih objektif. Mungkin ia akan menemukan alasan kenapa orang tuanya melakukan tindakan itu kepadanya di masa kecil. Biasanya informasi tersebut sudah tersimpan di gudang informasi bawah sadarnya.

Dengan cara demikian pasien mungkin bisa memahami kenapa orang tuanya melakukan itu. Mengingat pasien ingin dicintai, mungkin akan bermanfaat untuk menyodorkan kepadanya pemahaman baru kenapa ia diperlakukan buruk saat itu. Dengan demikian ia bisa menerima perlakuan buruk yang didapatkannya waktu itu secara lebih objektif. Ketika ia bisa memahami apa yang dilakukan oleh orang tuanya, dan karena dorongannya untuk dicintai, ia bisa memaafkan perlakuan mereka. Jika pasien ingin dicintai dan ingin mengubah perasaan negatifnya terhadap orang tua, maka sangat berguna untuk mengubah dendam menjadi kesediaan memaafkan. Jadi, pasien bisa pulang ke rumah dengan emosi yang dilepaskan dalam abreaksi, dan kemudian ditangani secara positif oleh terapis, sehingga ia mendapatkan pemahaman baru yang menenteramkannya.

Kepada pasien semacam ini, yang merasa bahwa ayahnya sangat membencinya, saya membiarkannya menikmati seluruh luapan perasaannya dan mengungkapkan keinginannya kepada ayahnya. “Saya ingin ayah saya memperlakukan saya dengan baik,” katanya.

Dengan serangkaian pendekatan, ia akhirnya memiliki satu keinginan yang kuat untuk memeluk ayahnya. Dan ia melakukannya dalam keadaan trance, dan menikmati perasaan bahagianya.
“Kau bisa memaafkan ayahmu?”

Ia mengangguk.

“Kalau begitu maafkanlah ia sekarang. Kau sudah melakukannya?”

Ia mengangguk.

“Sekarang kau bisa memaafkan dirimu sendiri atas kondisi buruk yang kauberikan kepada dirimu sendiri?”

Ia mengangguk.

“Dan kau tetap akan menyayangi ayahmu sekalipun ia tidak tahu bahwa kau sudah memaafkannya dan sikapnya terhadapmu tidak berubah?”

Ia mengangguk.

“Terima kasih, peluklah ia kuat-kuat.”

Terapi sering dimulai dari perubahan cara pandang seseorang terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain.

Salam,
A.S. Laksana