Materi ke-19
Hubungan antara Symptom dan Akar Masalah
Hukum yang paling dipercaya orang, dan dianggap berlaku dalam semua aspek kehidupan, adalah hukum sebab-akibat. Dalam terapi hukum ini juga berlaku, yakni bahwa setiap simptom pasti ada penyebabnya.
Tanpa ada penyebab, simptom tidak akan ada. Karena itulah pendekatan untuk menemukan akar masalah dan menyingkirkannya akan dipandang sebagai sebuah pendekatan yang menjamin keberhasilan. Namun, apa sesungguhnya akar masalah? Apakah ia sesuatu yang tunggal dan berdiri sendiri menjadi penyebab simptom tertentu? Dan bagaimana menemukan akar masalah?
Berurusan dengan akar masalah sering merupakan pekerjaan njelimet, tidak ubahnya investigasi yang dilakukan oleh detektif. Pandangan naif sering membuat orang keliru memahami bahwa dengan hipnosis tentu orang akan mudah menemukan akar masalah. Tinggal kita membuat pasien trance, dan kemudian ditanya apa akar masalahnya, dan pasien akan merespons pertanyaan itu dengan menyampaikan apa sumber masalahnya.
Saya kira pemahaman ini berasal dari hipnosis pertunjukan yang sering mempertontonkan atraksi-atraksi untuk mengorek pengakuan subjek. Dan di sana ditunjukkan betapa mudah bagi seorang hipnotis untuk membuat subjek mengakui apa saja.
Mari kita bicarakan lebih cermat lagi tentang akar masalah. Agar lebih memudahkan, saya akan menyampaikan situasi riil tentang seseorang dan pengalaman masa lalunya. Orang ini mengembangkan perasaan jeri dan ketidakmampuan mengungkapkan diri karena di masa kecilnya ia pernah diamuk habis-habisan oleh ayahnya. Waktu itu ia pulang ke rumah sehabis berkelahi dengan temannya. Ibunya melaporkan kepada si ayah bahwa ia berkelahi dengan anak lain. Begitulah, begitu sampai di rumah ia harus menghadapi amukan ayahnya yang melumpuhkan keberaniannya.
Sejak saat itu, dari sebelumnya anak yang bandel dan selalu melawan jika merasa diperlakukan tidak adil, ia sekarang menahan diri. Pengalaman diamuk oleh ayahnya seperti memberinya pelajaran bahwa ia tidak boleh melakukan tindakan yang keliru, dan ia harus bisa menahan diri sekalipun pada saat itu ia ingin membalas jika ada temannya memperlakukannya buruk. Mengungkapkan diri adalah hal yang keliru, sebab itu akan membuatnya berkelahi, dan jika ia berkelahi ayahnya akan mengamuk.
Berdasarkan hukum sebab-akibat, maka masalah orang itu, antara lain ketidakmampuannya mengungkapkan diri, ketidakberaniannya membuat keputusan karena takut keliru, akan teratasi begitu akar masalahnya, yakni pengalaman diamuk habis oleh ayah, ditangani dan dibereskan.
Dan memang ia menjadi tampak lebih rileks setelah masalah amukan ayah itu ditangani. Kendati demikian, ia tetap tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan untuk mengatasi keminderannya. Maka, itu adalah isyarat bahwa kita harus mencari tahu aspek-aspek lain di luar akar masalah atau apa yang anda duga sebagai akar masalah.
Mengenai hal ini, perhatikan perumpamaan berikut ini. Seseorang memiliki pengalaman digigit anjing ketika ia kecil Sejak itu, setiap kali bertemu anjing ia akan mengembangkan perasaan takut. Itulah mekanisme sederhana dari hukum sebab-akibat dalam kaitan dengan munculnya simptom.
Namun ada sesuatu yang lain berlangsung pada saat itu. Pada perjumpaanya dengan anjing untuk kali kedua, ketakutan orang itu juga dipicu oleh ingatannya tentang pengalaman digigit anjing. Peristiwa digigit anjing itu sendiri sudah tidak ada, sudah berlalu mungkin bertahun-tahun, dan secara sadar ia tidak pernah lagi memikirkan peristiwa penggigitan tersebut. Namun ingatan akan peristiwa itu tetap tertinggal dan memicu ketakutannya. Maka sesungguhnya pada saat itu ada dua pemicu yang bekerja. Sosok anjing itu dan ingatan orang itu sendiri.
Pada pertemuan ketiga dengan seekor anjing, ia mengembangkan ketakutan yang dilandasi oleh perpaduan dua pertemuan sebelumnya. Yakni kombinasi antara pertemuan pertama ketika ia digigit anjing dan pertemuan kedua di mana ia mengembangkan aspek psikologis dari ketakutan itu. Pada saat ini ia mengembangkan aspek ketakutan baru, yakni bahwa ia bisa bertemu anjing di mana pun ia berada. Maka ia terus menghadirkan anjing sepanjang waktu, dan ketakutan bahwa ia bisa bertemu anjing kapan saja di mana saja kini menambahkan satu aspek baru lagi pada simptomnya, yakni munculnya dorongan psikologis untuk melakukan antisipasi. Dan dalam mengembangkan antisipasi ini, ia mengepung dirinya dengan pemikiran-pemikiran menakutkan tentang anjing. Dan secara bersamaan, ia sekarang menjadi lebih fokus pada ketakutannya. Itu sebuah tindakan yang makin memperbesar perasaan takutnya.
Pendeknya, setiap saat yang ia lakukan adalah menyiramkan bensin pada ketakutannya. Dan pada situasi pasien yang seperti inilah, hukum sebab-akibat yang simpel bisa tidak berlaku. Orang itu bisa seperti tidak menunjukkan perubahan dalam perilaku ketakutannya kendati anda merasa sudah melumpuhkan sumber masalah, yakni pengalaman digigit anjing.
Dengan ilustrasi perkembangan tersebut, kita bisa memahami kenapa Erickson menganggap bahwa riwayat masa lalu, faktor kesejarahan, atau peristiwa yang dianggap sebagai akar masalah, tidaklah relevan dikait-kaitkan dengan simptom seseorang, sebab masalahnya adalah hari ini. Dalam kasus digigit anjing itu, simptom dan akar masalah sudah berbaur menjadi satu. Keduanya sudah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan, seperti gunung es. Kita melihat simptom adalah bagian permukaan gunung es itu, dan akar masalah adalah lapisan bawah gunung es yang tak tampak. Tetapi bukankah sebetulnya gunung es itu sebentuk gumpalan besar dii mana bagian permukaan dan lapisan bawah permukaan menyatu?
Mengikuti pendekatan terakhir Erickson, yang saya cenderung setujui, maka saya berpikir bahwa mestinya lebih enak jika kita bisa menangani orang tanpa membongkar-bongkar faktor sejarah pribadinya. Apa yang terjadi di masa lalu adalah milik masa lalu, dan ia memang terjadi di masa lalu, bukan di masa sekarang. Sedangkan masalahnya adalah hari ini. Karena itu, apa pun akar masalahnya, hal yang amat diperlukan oleh seseorang adalah bagaimana caranya berfungsi optimum pada situasi apa pun. Orang telah membangun kebiasaannya sendiri untuk menghadapi situasi tertentu dengan perilaku tertentu. Dan itu adalah perilaku yang terbukti telah mempersulit dirinya sendiri. Untuk mengatasi hal itu, ia perlu tahu cara yang lebih baik, atau perilaku alternatif yang lebih sehat dan lebih produktif.
Saya akan mengakhiri materi kali ini dengan satu contoh kasus. Seseorang datang dalam keadaan sangat murung, paras mukanya menunjukkan bahwa ia tampaknya tidak pernah tahu bagaimana cara mengembangkan kegembiraan. Dan menurut penuturannya, ia bisa merasa sedih begitu saja dan tidak tahu kenapa bisa begitu.
“Jadi ia datang begitu saja?”
“Ya.”
“Kau tak tahu kenapa ia datang begitu saja?”
“Ya.”
“Tidak ada alasannya? Ia datang tanpa alasan?”
“Ya, seringnya seperti itu.”
“Dengan demikian kau bisa bergembira tanpa alasan... Bisa tersenyum tanpa alasan... Bisa berterima kasih tanpa alasan...
“Kau sudah berlatih sekian lama untuk bersedih tanpa alasan... maka sekarang kau perlu mengembangkan kecakapan lain untuk bergembira tanpa alasan... untuk tersenyum tanpa alasan... untuk berterima kasih tanpa alasan. Dan waktu yang tepat untuk berlatih adalah ketika kau bangun tidur....
“Dan kau tidak pernah merasa memiliki hari baik.... sekarang kau bisa memilih merasakan hari baik... setiap bangun tidur.... dan setiap menjelang tidur....
“Tetapi itu terserah padamu... apakah kau memilih perasaan buruk tanpa alasan atau perasaan baik tanpa alasan... dan ini tentang dirimu sendiri... dan karena kau kemari untuk mendapatkan pertolonganku agar bisa menjadi lebih baik... dan kau sudah pandai bersedih tanpa alasan, maka yang kauperlukan adalah bergembira tanpa alasan.
“Dan itu latihan yang mudah kaujalankan... karena kau bahkan tidak perlu memikirkannya alasannya... kau tidak harus memeras pikiran karena kau hanya perlu melatih kegembiraan... dan aku sungguh tidak meminta alasan untuk itu... sehingga kau bisa bergembira tanpa alasan.
“Dan apakah kau sibuk memikirkan caranya? Dan apakah kau perlu tahu bagaimana caranya? Kau tidak perlu memikirkannya... sebab kau sudah pandai bersedih tanpa alasan.... dan sekarang hanya mengembangkan latihan kecil... dan itu sama-sama tidak membutuhkan alasan.”
“Dan kau sudah tahu bagaimana memunculkan perasaan tanpa alasan.
“Maka, kusampaikan sekali lagi agar kau selalu ingat, begitu bangun tidur setiap pagi, yang pertama kali kaulakukan adalah mengucapkan terima kasih, dan merasakan gembira tanpa alasan.... Kurasa itu mudah dipahami, bukan? Dan kau bisa melakukannya setiap hari... dan aku akan tahu apakah kau benar-benar melakukannya atau tidak melakukannya.... dan aku akan tahu itu pada pertemuan kita selanjutnya..... hari dan jamnya sama.”
Dan ia benar-benar melakukannya. Pada pertemuan selanjutnya, ia menceritakan bahwa ia seperti menjalani hari-hari yang berbeda dari sebelumnya.
Salam,
A.S. Laksana